Dari Lantai Diskotek dan Besi-Besi Tua

Written in

by


Format


Takarir

Saduran dari situs web Tempo

Sebuah festival new media art internasional beberapa waktu lalu diselenggarakan di Bandung. Acara ini membukakan mata terhadap inovasi terbaru para perupa yang bertolak dari video dan dunia elektronik.

Renik-renik mirip sel-sel darah merah merayap-rayap, menari-nari di tembok, pohon, ranting, genteng, ubin, rerumputan halaman dalam Rumah Nusantara. Inilah sebuah oase seni di bilangan Geger Kalong Hilir, Bandung. Sesekali, di antaranya tampak ikan teri, kapal laut, jembatan yang melintas.

Musik house disko berdentam keras. Para perupa yang sudah berkumpul selama lima hari di Bandung mulai “gerah”. Wawan Husein, seorang perupa, tak tahan. Ia melilit sebuah pohon dengan tali, lalu mempermainkannya. Dua orang perempuan saling menampar, lalu berciuman. Bahkan ada perupa yang mandi di tengah siraman cahaya. Spontanitas mengalir. Meriah. Fantastik. Liar bagai sebuah dunia gemerlap visual. Inilah penampilan Bio Sampler, sebuah kelompok para mahasiwa Seni Rupa ITB yang berupaya mengolah ruang.

Ruang yang diciptakan mampu memancing penonton mengalami efek chaos, mengganggu tapi menyenangkan. Alat-alat elektronik yang digunakan tak canggih benar. Mereka hanya menggunakan tiga buah overhead projector; dua buah video-proyektor, sebuah proyektor slide, dan tiga buah komputer. Para perupa mencampur-campur warna dengan berbagai minyak, mulai minyak goreng, parfum, tiner, alkohol, pelicin setrika, lotion sari puspa, gincu, vetsin (bumbu masak), sampai cairan pengharum ruangan yang kemudian disemprotkan dan dibesarkan ke mana saja. Ternyata, benda cair memiliki efek gerak yang lebih dinamis, lebih tak terduga dibanding lelehan cat minyak di atas kanvas. Bak DJ (disk jockey) yang menggesek-gesek piringan hitam, mereka juga terus “bereksperimen” mengaduk-ngaduk warna sepanjang pertunjukan.

“Energi mencampur-campur warna di kaca OHP yang kecil sama dengan energi melukis di kanvas basar,” demikian tutur Iweng, anggota Bio Sampler. Titik minyak membesar dan kemudian mengalami gradasi. Campuran antara jenis minyak satu dan lainnya menghasilkan karakter yang berbeda. Petchin misalnya. Bila disemprotkan, efeknya seperti batuan yang sedang larut. Komposisi itu diselingi semprotan gambar-gambar video digital. Mereka sendiri mengaku sering kaget menyaksikan fantasi-fantasi yang tampil. “Kejutan-kejutan, sensasi-sensasi visual baru itu yang kita cari,” ucap Sulasmoro, pencetus Bio Sampler. Menurut dia, OHP memiliki peluang tak terbatas. Selain warna, mereka juga mengeksplorasi berbagai benda. Misalnya akuarium ikan diletakkan di atas kaca OHP, sehingga di dinding ada ikan hilir-mudik berenang kian kemari.

Yang menarik, kelompok ini getol mencari kemungkinan mengolah sub-space atau ruang publik. Sikap terhadap kesenian berubah. Tak lagi memandang seni dan seniman sebagai sesuatu yang sakral. Mereka pernah mengeksplorasi terowongan di ITB dari pukul tujuh malam hingga tujuh pagi, gudang PLN di Rawamangun, perpustakaan British Council Jakarta, sampai diskotek-diskotek di Jakarta dan Bandung.

Bersama kelompok Ruang Rupa Jakarta, mereka menggarap visual art sebuah pesta-pora musik tekno bertajuk Digital Manifesto. “Luar biasa. Saya suka sekali,” kata penyanyi Edi Brokoli (Harapan Jaya), usai menikmati pertunjukan Bio Sampler di Boqiet Cafe Bandung pekan lalu. Untuk Jakarta, memang Ruang Rupa telah dikenal memiliki perhatian yang besar terhadap video seni. Kelompok yang bermarkas di bilangan Tebet ini sering mengadakan workshop tentang digital art bersama Michael Klofkorn dan Oliver Husain, dua orang sutradara klip video Jerman pemenang Festival Oberhausen 1999. Setahun silam, mereka juga mengadakan lokakarya bersama Anne Mie Van Kerckkhoven dan Sebastian Diaz Morales, sutradara video seni dari Belanda dan Spanyol.

Karya-karya video seni Ruang Rupa rata-rata menstimulasi rangsangan retinal penonton. Kecanggihan peranti-peranti lunak seperti after effect untuk mendistorsi gambar membuat mereka dapat merekonstruksi, memperkaya, mempercepat berbagai gambar hasil rekaman atau berbagai ikon yang “diklepto” dari internet. Kecenderungan permainan grafik seperti itu tercuat dalam karya-karya seniman muda video kita di Bandung New Media Art Forum. Tengok: Disartikulasi karya Nerfita “Poppy” Primadewi (Yogya), Manusia Bersayap garapan Eko Puteh Deny (Solo), Rapid Eyes Movement karya Andry Moch (Bandung), atau Self Portrait in Vector karya Ristyo Eko Hartanto, perupa Bandung perebut penghargaan Juror Price Philip Morris 1999 yang kini kuliah di Amsterdam.

Kursus animasi, desain web (situs) dan kamera memang tengah menjadi gejala di Jakarta, Surabaya, Medan, atau Bandung.

Agaknya Ruang Rupa percaya bahwa siapa saja, tak berlatar belakang seni, dapat berkecimpung dalam video seni. “Perkembangan video seni lebih menarik karena publik seninya lebih cair, dimensi lebih beragam,” kata perupa Ade Darmawan. “Joan Jonas, seorang feminis, instruktur saya di Rijkakademie Art, malah menegaskan bahwa video art adalah medium yang belum dikuasai laki-laki. Selama ini sejarah seni rupa modern di Barat adalah sejarah laki-laki,” kata Ade Darmawan lagi.

Tahun depan, Ruang Rupa merencanakan menggelar festival video art. Tapi, menurut Ade, persyaratan untuk peserta tetap tegas: tak akan ada gambar ala MTV; tidak naratif dan bukan karya yang menampilkan komputer grafis yang gampangan. Meski siapa saja boleh ikut, peserta harus bisa membedakan wilayah kerja video seni dengan video “biasa”.

Beberapa perupa video seni Eropa pernah berpameran Indonesia . Serombongan seniman video dari Helsinki, Finlandia, beberapa waktu lalu berkarya di Galeri Lontar. Yang menarik, tampak karya-karya mereka tidak mengejar efek grafis. Karya-karya Anu Pennanen, misalnya, dilandasi prinsip mempertanyakan kembali hakikat sinema. Tengok The Law of Drama, yang memperlihatkan hubungan aktor-aktor yang berlatih dalam suatu adegan dengan kamera. Juga bila kita menyaksikan sebuah karya Yael Bantana, seniman video asal Israel yang memperlihatkan adegan pembuangan sampah di sebuah sinagoge. Tampak dilakukan dengan hati-hati, tersembunyi, karena sampah itu meliputi kertas-kertas buku agama. Mirip dokumenter, tapi toh tak bisa disebut begitu.

Karya Khrisna Murti, Memory of Havana Families, yang ditampilkan di forum Bandung, bisa disebut juga karya yang tak mengejar efek grafis. Sederhana, seperti rekaman kamera, bergantian muncul foto-foto keluarga-keluarga di Havana. Khrisna mewawancarai 30 keluarga kecil di pinggiran Havana, mulai perawat sampai warga Kuba keturunan Korea atau Cina. Kita diajak tamasya ke dunia yang pribadi, dengan memori dari pintu ke pintu. Dengan pendekatan seperti ini, tentunya tak terbayangkan jika karya semacam ini akan cocok digelar di diskotek.

Penampilan Venzha & Jompet, duo performance multi-media asal Yogya, berjudul Ultra Output Project, di Forum Bandung itu—dan akan digelar di PlasticKinetic Worm, sebuah galeri alternatif di Singapura ini— menunjukkan keragaman “new media art” yang lain. Penonton tertohok oleh sebuah peralatan yang cukup rumit dan terkesan canggih. Dua buah sepeda rongsokan dihubungkan besi-besi pipa tua, serangkaian kabel, dan dua komputer. Di tengahnya layar bundar seperti rebana. Venzha dan Jompet menaiki sepeda. Begitu pedal dikayuh, terdengar bunyi seperti mesin, dentuman. Penonton menduga-duga asal rangkaian kebisingan itu.

Venzha adalah mahasiswa jurusan desain interior, sementara Jompet adalah seorang penyunting video berlatar belakang dunia radio. Keduanya mula-mula adalah pemain band yang menggemari musik tekno dan kemudian bosan terhadap bunyi-bunyian murni dari komputer. Mereka lalu mencoba merangkai besi-besi tua, pompa dengan sensor suara, instalasi eklektronik, komputer, video untuk menghasilkan bunyi mesin. Gagasan mereka adalah bagaimana bunyi-bunyi cyborg manusia setengah mesin dapat diciptakan berdasar prinsip kinetik dan mekanik sederhana.

Instalasi Ultra Output Project yang terkesan canggih itu sesungguhnya sederhana. Dinamo yang tergesek ban sepeda menghantarkan aliran listrik. Aliran listrik itu akan memutar dua buah tape kaset yang ditempel di tiap sepeda. Bunyi-bunyi mesin aneh itu datangnya dari cepat-lambat kayuhan. Alhasil, suara musik India, dangdut, jazz didistorsi berdasarkan kayuhan dan volume.

Venzha-Jompet, Ruang Rupa, Bio Sampler dapat dibaca sebagai sebuah pergulatan (juga parodi) perupa. Ini seolah menyediakan sebuah budaya tanding terhadap mainstream pasar seni rupa yang gemerlap. “Tapi kami ini generasi seniman yang kalau listrik mati akan sengsara,” tutur Sulasmoro, berseloroh.


Saduran dari situs web IVAA

Tahun


Penulis


Bahasa


Penerbit


Tempat Penerbitan


Pranala


Media


KONTRIBUSI

Situs ini dibangun dengan koleksi terbatas yang kami miliki. Kamu bisa menambahkan konten dengan mengisi formulir di bawah ini