Mencari Musik Baru

Written in

by


Subjek Terkait


Format


Takarir

Saduran dari situs web Tempo

Kemudian memang ada pikiran-pikiran baru, perspektif baru dalam kehidupan musik kita — yang kini seolah-olah macet. Tujuh komponis muda itu — baik yang bertolak dari tradisi musik Barat maupun Jawa, Sunda atau Bali — menyuguhkan karya-karya yang boleh dibilang selama ini tak pernah kita dengar. Jadi, Pekan Komponis Muda yang pertama ini, 19-22 Desember yang lalu di Taman Ismail Marzuki, memang menelurkan hasil yang bermanfaat.

Sebuah karya bertolak dari musik Sunda karya Nano Suratno, 35 tahun, misalnya, memasukkan unsur baru: macam-macam instrumen yang belum pernah dikembangkan sebelumnya. Sangkuriang, judul karya itu, makan waktu sekitar empat puluh menit, menyerap masuk berbagai alat musik tiup bambu berbagai ukuran yang khusus dibuat dan dikembangkan oleh Tatang Suryana — seorang tokoh musik Sunda. Alat-alat itu, dengan cerdik diaduk Nano Suratno ke dalam karawitan Sunda, sehingga menimbulkan beragam efek, bunyi penuh warna. Sebagai alat tiup, instrumen bambu itu, di samping rebab dan suling, sangat penting dan potensial sekali untuk membentuk garis suara bersambung dan memanjang. Manfaatnya, sebagai imbangan dan kontras dari bunyi pendek dan terputus alat gamelan kita yang sifatnya perkusip. Nano, yang kini mengajar di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia di Bandung, juga memasukkan mainan anak-anak seperti gasing, kaleng biskuit yang diberi tali (yang mengeluarkan bunyi kalau tali ditarik). Bahkan ia juga memasukkan macam-macam bunyi yang distilisasi dari bunyi tepuk tangan dan mulut.

Ilmu sekolah juga pada peserta-peserta lainnya, perasaan tidak puas dan merasa butuh untuk tidak mandeg pada tradisi, untuk bergerak keluar lebih jauh dari dalamnya, sangat nyata. Komang Astita, 27 tahun, dari Bali juga berpijak pada landas pemikiran yang serupa. Dalam karyanya Gema Eka Dasa Rudra yang panjangnya lebih dari setengah jam, ia bahkan memasukkan sapu lidi, lesung dan penumbuk padi, kentongan balai desa sebagai instrumen musik. Dengan pintar Sarjana Muda Akademi Akademi Seni Tari Indonesia di Denpasar ini, mengorkestrasi alat-alat itu, sehingga benar-benar terkait dan terasa akrab dengan bunyi gamelan Bali. Digantungkannya bermacam-macam gong dengan tali langsung dari atap Teater Arena. Sementara jenis gong lainnya (bende?) dengan cara yang sama digantung di seberang sudut yang lain, di antara dua kentongan. Gong dan kentongan itu ditabuh oleh seorang pemain, yang karenanya harus terus-menerus bergerak ke sana ke mari. Ini tidak saja memberikan efek teatral dan komposisi pandang yang geniai, tapi sekaligus menyuguhkan efek akustis dan gerak ritmik abstrak yang brilyan. Pemecahan efek akustis ia capai dengan menempatkan instrumen secara menyebar ke seluruh ruang arena. Tidak mengelompok, seperti biasa dilakukan pada karawitan kita atau bentuk ensembel lainnya. Akibatnya suara tidak datang dari satu pusat arah saja, tetapi terpencar dengan bagus sekali. Pada hakikatnya ini memang sudah lazim dalam teater Bali: bahwa bunyi (musik), gerak (tari), dan lakon (teater) saling bertumpangan satu sama lainnya.

Dengan siasat yang mirip, Rahayu Supanggah, 30 tahun dari Surakarta dengan karyanya Gambuh tidak saja memakai alat lain yang “non-gamelan”, tapi juga menggunakan mantra, mainan anak-anak, permainan kata yang distilisasi sebagai sumber efek bunyi. Hasilnya cukup mempesonakan. Terasa bahwa Supanggah, lulusan Akademi Seni Karawitan Indonesia di Surakarta ini, menguasai teknik orkestrasi, akrab dengan bunyi, mengenal medan dan tahu sasaran. Hasil yang sama sebenarnya dapat juga dicapai oleh koleganya se”tanah air”, Sri Hastanto. Tapi Dandang Gula Sri terasa terlalu di’organisasi’, sehingga kesan “resmi”nya tak terelakkan. Justru berontak kesan “resmi” untuk menerapkan ilmu sekolah bahkan sangat terasa pada karya Kristyanto Christinus, 20 tahun, mahasiswa Akademi Musik Indonesia di Yogyakarta, yang berjudul A dan B.

Semua ide bisa jadi “barang” besar, kalau orang mengerti cara dan sigap menggarap masalahnya. Seperti terjadi pada karya elektroniknya Otto Sidharta, Kemelut, yang baru permainan fantasi itu. Tapi, ide penggarapan air sebagai sumber bunyi (musik) dengan media elektronik patut dihargai. Seperti banyak dilakukan di Eropa, Amerika dan Jepang, terutama pada pertengahan abad XX ini, modul-modul bunyi yang keluar lewat media elektronik dapat melahirkan musik, atau seni bunyi, yang tak kalah hebatnya dengan musik konvensional. Demikian pula karya Otto, 24 tahun, mahasiswa Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta, ini.

Musik konvensional, seperti kita kenal sehari-hari inilah yang ingin dilawan oleh Sutanto, 25 tahun, mahasiswa AMI di Yogyakarta, dengan karya absurdnya Sketsa Ide. Agak mencengangkan (atau justru logis?) bahwa anak muda dari Yogyakarta, kota yang terkenal klasik itu, justru berontak melawan arus kebiasaan legitimitas musik. Ia bahkan tidak berpretensi menyebutkan karyanya sebagai musik. Karya musik yang gaduh ini, atau simponi hiruk-pikuk, tidak saja mengerahkan sejumlah pemain — yang tidak profesional — bahkan juga seluruh penonton. Musik Sutanto menyarankan agar kita berpikir dan merenung kembali apakah masih perlu dan ada gunanya melanjutkan kebiasaan membosankan dalam kehidupan (musik) kita sehari-hari. Dan itulah kesan keseluruhan Pekan Komponis Muda yang pertama ini.


Tahun


Penulis


Bahasa


Penerbit


Tempat Penerbitan


Pranala


Media


KONTRIBUSI

Situs ini dibangun dengan koleksi terbatas yang kami miliki. Kamu bisa menambahkan konten dengan mengisi formulir di bawah ini